Saturday, March 28, 2009

Demokrasi yang mana??



“Aku entuk sewidak Kang, tapi yo tak dum loro…
.” Begitulah sepenggal percakapan yang saya dengar di wedangan samping kos. Negeri ini baru asyik masyuk dengan gawenya, PEMILU! Yang konon menjunjung tinggi asas demokrasi. Di gang-gang kecil pun rame membahas pemilu, entah mereka tahu apa yang diperjuangkan apa nggak. Yang memprihatinkan, dalam setiap pembicaraan mereka mesti tak lepas dari perbincangan tentang “fulus” yang tentunya menyertai gegap gempita pemilu ini.

Seperti penggalan dialog diatas yang menyebutkan bahwa dia dapat Rp.60.000 sebagai imbalan menyontreng tanda gambar tertentu pada pemilu ini, yang nampaknya dia berposisi sebagai makelar, dimana 60 ribu dibagi dua, dia sebagai makelar mendapat 30 ribu dan si objek dapat 30 ribu. Semacam tim sukses lah…

Ironis memang. Pemilihan umum yang membawa nama demokrasi ini di sana sini dikotori oleh peredaran uang “haram” yang selalu menyertainya. Mulai di tingkat bawah hingga yang paling elit sekalipun, tak lepas dari yang namanya uang, padahal jelas money politik di”haram”kan dalam pemilu kita ini. Tapi seakan hal itu Cuma menjadi peraturan belaka, tak pernah ada implementasinya. Seolah telah disepakati sebuah pemakluman masal bahwasanya kalo gak ada duitnya ya nggak milih. bahkan ada yang bilang, pada pemilu ini restu Bung Karno sama Bung Hatta lebih menentukan daripada restu Igusti Ngurah rai apalagi pattimura. Artinya uang 100.000 lebih menentukan kemenangan daripada uang 50.000 apalagi hanya recehan seribuan bergambar pattimura.

Saya yakin sebenarya hal ini telah disadari oleh para pengambil keputusan yang bertengger di gedung-gedung mereka, akan tetapi mereka tetap saja memaksakan system ini tanpa kemudian mempertimbangkan realita di masyarakat seperti apa. Mereka masih sibuk beridealis-idealis padahal tau keadaan sebenarnya di lapangan seperti apa. Seolah memang ingin mendidik rakyat dengan budaya yang samasekali tidak perlu dipertahankan ini. Melihat kenyataan yang ada sebenarnya perlu disadari bahwa mental kebanyakan rakyat Indonesia belum siap. Demokrasi yang katanya merupakan sarana menyalurkan aspirasi rakyat tidak pernah terwujud, karena toh ujung-ujungnya uang yang bermain.

Entah salah siapa hingga negeri ini bisa terjerat sebuah budaya yang sebenarya tak pantas tumbuh di negeri pertiwi ini. Budaya capital yang perlu dibumihanguskan! Kalau diteruskan pasti ujungnya pada masalah bobroknya mental bangsa kita saat ini. Banyak da’i yang saban harinya mengajarkan keselarasan hidup, tapi tak kalah banyak para gali yang tak punya tatanan di negeri ini. Baik gali yang pegang pisau belati, sampai gali yang berdasi dan kemana-mana diantar mobil mercy… entah lah….


Dini hari, 29 maret 2009
02.29 WIB

0 komentar:

Post a Comment

Makasih atas kesediaannya mengisi komen yaa...